Poligami Dalam Syari’at ke 2
Syarat Berpoligami
Berikut hadits mengenai syarat berpoligami :
“Alqomah ra berkata : Ketika saya berjalan bersama Abdullah bin Mas’ud di Mina dan bertemu dengan Utsman bin Affan, maka kami diajak bicara oleh Utsman, “Ya Aba Abdurrahman, maukah engkau saya kawinkan dengan gadis yang masih muda ? Kemungkinan dapat mengingatkan kepadamu masa-masa lampau.” Jawab Abdullah, “Kalau anda mengatakan begitu, sedang Rasulullah Saw telah bersabda, ‘Siapa yang di antara kamu (mampu) memenuhi kewajiban perkawinan hendaklah kawin, karena kawin itu dapat mengurangi pandangan mata dan menjaga kemaluan. Siapa yang tidak dapat maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu dapat menahan nafsu (syahwat)’.” (HR Bukhori & Muslim)
Hadits tersebut menjelaskan tentang pentingnya kemampuan untuk memenuhi kewajiban perkawinan sebelum seseorang menikah, apalagi hendak berpoligami karena itulah Abdullah bin Mas’ud ra menolak secara halus tawaran Utsman bin Affan ra untuk menikah lagi dengan mengemukakan sabda Rasulullah Saw seperti di atas.
Kemampuan untuk memenuhi kewajiban perkawinan sebagaimana dimaksud diatas adalah kemampuan dalam batas fitrah kemanuasiaan karena tidak mungkin Allah SWT membebani seseorang diluar batas kemampuannya ( QS Al Baqarah ayat 286).
Kemampuan itu antara lain meliputi kemampuan memberikan mahar, kemampuan memberikan nafkah dan lainnya yang secara lahiriah harus dipenuhi. Sedangkan bagi yang berpoligami dituntut pula kemampuan untuk memenuhi kewajiban itu secara adil sebagaimana disebutkan dalam QS An Nisa ayat 3 yang artinya :
“ … Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Pengertian berlaku adil dalam ayat tersebut adalah berlaku sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah Saw dalam berpoligami karena memang tugas Nabi Muhammad Saw adalah menjelaskan Al Qur’an secara lisan maupun perbuatan agar diikuti oleh umatnya sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Ahzab ayat 21 yang artinya :
“ Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Apa yang dicontohkan Rasulullah Saw antara lain dalam hal pemberian nafkah, pembagian tempat dan waktu bermalam, penentuan pendamping beliau ketika bepergian dan sebagainya yang bersifat lahiriah.
Sedangkan apa yang bersifat batiniah seperti rasa simpati, rasa cinta kasih dan rasa syahwat merupakan perkara abstrak diluar kemampuan manusia untuk bisa mengendalikan dan membaginya. Terhadap hal ini Rasulullah Saw berdo’a :
“ Ya Tuhanku, inilah pembagian yang dapat kuberikan mengenai hal-hal yang dapat kukuasai (hal lahiriah), maka janganlah Engkau sesali aku dalam hal-hal yang Engkau kuasai dan tidak kukuasai” (hal batiniah).(HR Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abi Malikah)
Oleh sebab itulah kemudian turun QS An Nisa ayat 129 yang artinya :“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini turun berkaitan dengan perasaan Rasulullah Saw yang begitu mencintai Aisyah Ra lebih dari istri-istrinya yang lain walaupun Rasulullah telah berusaha membagi rasa cintanya dengan istri-istri lainnya hingga beliau berdo’a dengan hadist di atas.
Karena itu pada ayat tersebut Allah SWT memaklumi keadaan Nabi Saw dan umatnya yang tidak akan dapat berlaku adil dalam hal yang sifatnya batiniah karena memang diluar kemampuan manusia sebagaimana kalimat dalam QS An Nisa ayat 129 yang artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”.
Dan pada kalimat selanjutnya Allah SWT tetap memerintahkan berusaha sebisa mungkin berlaku adil dalam hal rasa batiniah ini dengan cara tidak terlalu cenderung pada orang yang paling dicintai sehingga mengabaikan lainnya sebagaimana kalimat dalam QS An Nisa ayat 129 yang artinya : “Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.