Sabtu, 08 Desember 2007

Poligami Dalam Syari’at ke 2

Poligami Dalam Syari’at ke 2

Syarat Berpoligami

Berikut hadits mengenai syarat berpoligami :
“Alqomah ra berkata : Ketika saya berjalan bersama Abdullah bin Mas’ud di Mina dan bertemu dengan Utsman bin Affan, maka kami diajak bicara oleh Utsman, “Ya Aba Abdurrahman, maukah engkau saya kawinkan dengan gadis yang masih muda ? Kemungkinan dapat mengingatkan kepadamu masa-masa lampau.” Jawab Abdullah, “Kalau anda mengatakan begitu, sedang Rasulullah Saw telah bersabda, ‘Siapa yang di antara kamu (mampu) memenuhi kewajiban perkawinan hendaklah kawin, karena kawin itu dapat mengurangi pandangan mata dan menjaga kemaluan. Siapa yang tidak dapat maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu dapat menahan nafsu (syahwat)’.” (HR Bukhori & Muslim)

Hadits tersebut menjelaskan tentang pentingnya kemampuan untuk memenuhi kewajiban perkawinan sebelum seseorang menikah, apalagi hendak berpoligami karena itulah Abdullah bin Mas’ud ra menolak secara halus tawaran Utsman bin Affan ra untuk menikah lagi dengan mengemukakan sabda Rasulullah Saw seperti di atas.

Kemampuan untuk memenuhi kewajiban perkawinan sebagaimana dimaksud diatas adalah kemampuan dalam batas fitrah kemanuasiaan karena tidak mungkin Allah SWT membebani seseorang diluar batas kemampuannya ( QS Al Baqarah ayat 286).

Kemampuan itu antara lain meliputi kemampuan memberikan mahar, kemampuan memberikan nafkah dan lainnya yang secara lahiriah harus dipenuhi. Sedangkan bagi yang berpoligami dituntut pula kemampuan untuk memenuhi kewajiban itu secara adil sebagaimana disebutkan dalam QS An Nisa ayat 3 yang artinya :
“ … Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Pengertian berlaku adil dalam ayat tersebut adalah berlaku sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah Saw dalam berpoligami karena memang tugas Nabi Muhammad Saw adalah menjelaskan Al Qur’an secara lisan maupun perbuatan agar diikuti oleh umatnya sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Ahzab ayat 21 yang artinya :
“ Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Apa yang dicontohkan Rasulullah Saw antara lain dalam hal pemberian nafkah, pembagian tempat dan waktu bermalam, penentuan pendamping beliau ketika bepergian dan sebagainya yang bersifat lahiriah.

Sedangkan apa yang bersifat batiniah seperti rasa simpati, rasa cinta kasih dan rasa syahwat merupakan perkara abstrak diluar kemampuan manusia untuk bisa mengendalikan dan membaginya. Terhadap hal ini Rasulullah Saw berdo’a :
“ Ya Tuhanku, inilah pembagian yang dapat kuberikan mengenai hal-hal yang dapat kukuasai (hal lahiriah), maka janganlah Engkau sesali aku dalam hal-hal yang Engkau kuasai dan tidak kukuasai” (hal batiniah).(HR Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abi Malikah)
Oleh sebab itulah kemudian turun QS An Nisa ayat 129 yang artinya :
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat ini turun berkaitan dengan perasaan Rasulullah Saw yang begitu mencintai Aisyah Ra lebih dari istri-istrinya yang lain walaupun Rasulullah telah berusaha membagi rasa cintanya dengan istri-istri lainnya hingga beliau berdo’a dengan hadist di atas.

Karena itu pada ayat tersebut Allah SWT memaklumi keadaan Nabi Saw dan umatnya yang tidak akan dapat berlaku adil dalam hal yang sifatnya batiniah karena memang diluar kemampuan manusia sebagaimana kalimat dalam QS An Nisa ayat 129 yang artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”.

Dan pada kalimat selanjutnya Allah SWT tetap memerintahkan berusaha sebisa mungkin berlaku adil dalam hal rasa batiniah ini dengan cara tidak terlalu cenderung pada orang yang paling dicintai sehingga mengabaikan lainnya sebagaimana kalimat dalam QS An Nisa ayat 129 yang artinya : “Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Selasa, 04 Desember 2007

Poligami Dalam Syari’at ke 1

Poligami Dalam Syari’at ke 1


Perdebatan masalah poligami seolah menjadi masalah yang makin kontroversial di negeri ini, padahal di Arab Saudi dan negara arab lainnya hal ini bukanlah isu yang besar karena memang masalah itu sebenarnya sudah jelas ada dalam Al Qur’an dan diterangkan dalam hadits Nabi Muhammad Saw. Berikut penjelasan singkat tentang poligami.

Segi Sejarah

Poligami sudah ada dan menjadi bagian syariat para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad Saw diutus. Hal ini dapat dilihat dari sejarah kehidupan para nabi dan rasul, diantaranya Nabi Ibrahim As, Nabi Musa As, Nabi Daud As, Nabi Sulaiman As dan lainnya yang melakukan poligami berdasarkan syariat yang mengijinkan mereka melakukan poligami. Ketika itu tidak ada pembatasan mengenai jumlah istri yang boleh dipoligami.

Segi Dalil

Al Qur’an sebagai kitab terakhir yang diturunkan kepada rasul terakhir, menyempurnakan kitab dan syariat yang diturunkan sebelumnya. Seperti halnya perintah sholat yang disempurnakan tata cara dan jumlah rakaatnya, maka terhadap masalah poligamipun juga disempurnakan, diantaranya mengenai pembatasan jumlah wanita yang boleh dipoligami. Hal ini disebutkan dalam Al Qur’an surat An Nisa ayat 3 :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ketika ayat ini diturunkan, dikalangan masyarakat arab ketika itu sudah merupakan kelaziman memiliki istri lebih dari empat. Begitu turun ayat ini maka para sahabat Nabi Saw yang memiliki istri lebih dari empat, diperintah Nabi Saw menceraikan sebagian istri mereka agar tidak lebih dari empat. Berikut haditsnya :
“Ghailan bin Salamah Atstsaqafi beristrikan sepuluh orang tatkala ia masuk Islam. Oleh Rasulullah ia disuruh memilih empat dari sepuluh istri itu.” (Hadits diriwayatkan Imam Ahmad dari Ibnu Syihab)
Hadits lainnya :
Dari Alharits bin Qais bahwa Umairah Al Asadi bercerita :”Tatkala aku masuk Islam aku mempunyai delapan orang istri, ketika aku beritahukan hal itu kepada Rasulullah Saw, bersabdalah Beliau kepadaku memerintahkan “Pilihlah empat orang di antara mereka”.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Sedangkan terhadap diri pribadi Nabi Muhammad Saw berlaku ketentuan khusus, dimana istri Nabi Saw lebih dari empat dan tidak diceraikan oleh Nabi. Hal ini karena istri-istri Nabi Saw adalah ibu orang beriman yang tidak boleh dinikahi lagi ( QS Al Ahzab ayat 6 dan 53 )

Dari dalil diatas menunjukkan bolehnya berpoligami asal tidak lebih dari empat.

Penjelasan Hadits Aisyah R.a.

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Urwah bertanya kepadanya berkenaan dengan firman Allah : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya) …” (QS An Nisa ayat 3), Aisyah berkata, “Wahai anak saudaraku ! Anak perempuan yatim ini berada di bawah pemeliharaan walinya, yang mengurus harta miliknya. Walinya tertarik terhadap kecantikan dan kekayaannya dan berniat mengawininya tanpa memberinya mahar yang adil, yakni mahar yang setara dengan yang mungkin diberikan orang lain (yang ingin menikahinya). Maka setiap wali dilarang menikahi anak perempuan yatim kecuali mereka berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim yang berada dalam perwalian mereka dan memberi mereka mahar yang pantas. Mereka diperintahkan (Allah) untuk menikahi perempuan-perempuan lain dan bukan perempuan-perempuan yatim yang berada di bawah perwalian mereka…(HR Bukhori)

Dari hadits ini jelaslah bahwa QS An Nisa ayat 3 merupakan perintah Allah SWT agar melindungi hak perempuan-perempuan yatim, yakni hak untuk mendapatkan mahar yang pantas atau adil apabila hendak dinikahi oleh walinya.

Penjelasan dari Aisyah r.a tersebut adalah salah satu latar belakang turunnya QS An Nisa ayat 3, namun bukan berarti bahwa bolehnya berpoligami hanya berlaku untuk para wali dari perempuan- perempuan yatim karena pelaksanaan dari ayat ini (bolehnya berpoligami asal tidak lebih dari empat) ditujukan pula oleh Rasulullah Saw terhadap sahabat-sahabat beliau yang bukan wali dari perempuan-perempuan yatim sebagaimana telah diterangkan hadits di atas berkenaan dengan sahabat Ghailan dan Umairah.

Sabtu, 01 Desember 2007

Nabi Terakhir Hingga Akhir Jaman

Nabi Terakhir Hingga Akhir Jaman


Akhir-akhir ini muncul kembali persoalan yang sudah pernah terjadi sejak dulu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, yakni adanya orang yang mengaku-ngaku sebagai nabi dengan mengatasnamakan Islam, padahal sudah sangat jelas Al Qur’an dan Al Hadits menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi dan Rasul terakhir hingga hari kiamat nanti.

Berikut dalil yang penting untuk diketahui umat Islam :

QS 33:40 (Qur’an Surat Al Ahzab ayat 40) :

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :

“Sesungguhnya risalah dan kenabian telah terputus, tiada lagi sesudah aku seorang rasul atau nabi.”

Bersabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Said Alkhudri r.a. :

“Perumpamaanku dan nabi-nabi yang sebelum aku, adalah seperti seorang yang membangun rumah dan menyelesaikan pembangunannya kurang satu batu-bata yang tempatnya masih kosong, maka diutuslah aku untuk mengisi tempat batu-bata yang kosong itu.”



Sumber : Tafsir Ibnu Katsier mengenai Al Qur’an surat Al Ahzab ayat 40